MAKALAH
Kurikulim
Subjek Akademis Serta Tuntutan Masyarakat Dalam Pengembangan Kurikulum SMA-MA
SMP-MTS SD-MI
Untuk
Memenuhi Tugas Struktur
Mata
Kuliah : Etika Pembelajaran
Dosen
Pengampu : Drs.H. Endang Abdurrohman, M.pd
Aisyah Nurlaela (14121610658)
TARBIYAH IPA BIOLOGI A/1V
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan berisi suatu interaksi antara pendidik
dengan peserta didik dalam upaya membantu terdidik menguasai tujuan-tujuan
pendidikan. interaksi antara pendidik dengan peserta didik ini merupakan
interaksi pendidikan, dan dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat.
Dalam lingkungan keluarga interaksi pendidikan terjadi
antara orang tua sebagai pendidik dan anak sebagai terdidik. Interaksi ini
berjalan tanpa direncanakan. Dalam kehidupan keluarga interaksi pendidikan
dapat terjadi setiap saat, setiap kali orang tua bertemu, bekerjasama atau
bergaul dengan anak-anaknya. Pada saat demikian banyak perilaku dan perlakuan
yang tanpa direncanakan dan tanpa disadari deperlihatkan orang tua.
Kesalahan-kesalahan dalm mendidik bisa terjadi dalam situasi seperti itu.
Karena sifat-sifatnya yang tidak formal, tidak memiliki rancangan yang kongkrit
dan adakalanya juga tidak disadari, maka pendidikan dalam lingkungan keluarga
disebut pendidikan informal. Pendidikan tersebut tidak memiliki kurikulum yang
formal, dan tidak memiliki kurikulum yang tertulis.
Pendidikan di lingkungan sekolah lebih bersifat formal.
Guru sebagai pendidik di sekolah telah dipersiapkan secara formal dalm lembaga
pendidikan guru. Guru melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan rencana dan
rancangan yang matang. Mereka mengajar dengan tujuan yang jelas, melakukan
interaksi pendidikan secara berencana dan sadar. Dalam lingkungan sekolah telah
ada kurikulum formal dan tertulis sehingga disebut pendidikan formal.
Di lingkungan masyarakat pun terjadi berbagai bentuk
interaksi pendidikan, interaksi pendidikan yang berlangsung di masyakat dan
memiliki rancangan yang dilaksanakan secara formal sedangkan interaksi yang
rancangannya kurang formal disebut pendidikan kurang formal.
Telah diuraikan di atas bahwa adanya rancangan atau kurikulum formal dan tertulis merupakan ciri utama dari pendidikan di sekolah. Dengan kata lain kurikulum merupakan syarat mutlak dari pendidikan di sekolah, sangat sulit dapat dibayangkan bagaimana bentuk pelaksanaan suatu pendidikan atau pengajaran di suatu sekolah yang tidak memiliki kurikulum.
Telah diuraikan di atas bahwa adanya rancangan atau kurikulum formal dan tertulis merupakan ciri utama dari pendidikan di sekolah. Dengan kata lain kurikulum merupakan syarat mutlak dari pendidikan di sekolah, sangat sulit dapat dibayangkan bagaimana bentuk pelaksanaan suatu pendidikan atau pengajaran di suatu sekolah yang tidak memiliki kurikulum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
permasalahan diatas, maka yang menjadi masalah secara rinci sebagai berikut:
1. Apakah pengertian
dari kurikulum subjek akademik?
2. Bagaimana ciri-ciri
kurikulum subjek akademik?
3. Bagaimana
pemilihan disiplin ilmu dari kurikulum subjek akademik?
4. Bagaimana
penyesuaian dengan perkembangan anak?
5. Bagaimana Tuntutan
masyarakat dalam pengembangankurikulum pada tingkat SD, SMP dan SMA?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian dari kurikulum subjek akademik?
2.
Untuk mengetahui ciri-ciri kurikulum subjek akademik?
3.
Untuk mengetahui pemilihan disiplin ilmu dari kurikulum
subjek akademik?
4.
Untuk mengetahui penyesuaian dengan perkembangan anak?
5.
Untuk Tuntutan masyarakat dalam
pengembangankurikulum pada tingkat SD, SMP dan SMA?
D. Manfaat
1.
Mengetahui pengertian dari kurikulum subjek akademik?
2.
Mengetahui ciri-ciri kurikulum subjek akademik?
3.
Mengetahui pemilihan disiplin ilmu dari kurikulum subjek akademik?
4.
Mengetahui penyesuaian dengan perkembangan anak?
5.
Mengetahui Tuntutan masyarakat dalam pengembangankurikulum pada
tingkat SD, SMP dan SMA?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Kurikulim Subjek Akademis
Kurikulum subjek
akademis ini adalah model konsep kurikulum yang paling tua, mulai sekolah
pertama berdiri, kurikulum yang dipakai mirip dengan kurikulum tipe ini. Hingga
saat ini, realitas mengatakan bahwa mayoritas Sekolah tidak bisa terlepas dari
tipe ini, walaupun sudah banyak berkembang tipe-tipe lain. kurikulum ini sangat
praktis, sehingga mudah disusun dan mudah dikabungkan dengan kurikulum tipe
yang lain.
Kurikulum subjek
akademis ini bersumber dari pendidikan klasik, yaitu: perenialisme dan
esensialisme, yang memiliki orientasi pada masa lalu. menurut kedua teori itu,
semua ilmu pengetahuan dan nilai-nilai sudah ditemukan oleh para pemikir dan
yang ahli dibidangnya, pada masa lalu. Sehingga, fungsi pendidikan adalah
memilihara dan mewariskan hasil-hasil budaya yang sudah temukan pada masa lalu
tersebut. Yang diutamakan dan dinomorsatukan dalam kurikulum tipe ini adalah
isi pendidikan. sehingga menurut tipe ini, belajar adalah berusaha mengusai
ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang belajar dikatakan berhasil jika ia sudah
mengusai seluruh atau sebagian besar dari isi pendidikan yang telah diberikan
dan disiapkan oleh pendidik (guru).
Dalam
perkembangannya kurikulum subjek akademis ini tidak hanya menekankan pada isi
atau materi pendidikan yang disampaikan oleh pendidik, tetapi secara
berangsur-angsur yang juga diperhatikan dan ditekankan adalah proses belajar
yang dilakukan oleh para siswa. Proses belajar yang dipilih sangat bergantung
pada segi apa yang dipentingkan dan diutamakan dalam materi pelajaran tersebut.
Jeromo Bruner dalam The
Proces of Education menyarankan bahwa desai kurikulum hendaknya
didasarkan atas struktur disiplin ilmu. selanjutnya, ia menegaskan bahwa
kurikulum suatu mata pelajaran harus didasarkan atas pemahaman yang mendasar
yang dapat diperoleh dari prinsip-prinsip yang mendasarinya dan memberi
struktur kepada suatu disiplin ilmu.
Contoh kurikulum
yang berdasarkan atas struktur pengetahuan adalah Man A Course of Stud (MACOS) Macos
adalah kurikulum yang dipakai untuk sekolah tingkat dasar, yang terdiri atas
buku-buku, film, poster, rekaman, permainan, dan perlengkapan kelas lainnya.
kurikulum ini ditujukan untuk mengadakan penyempurnaan tentang pengajaran ilmu
sosial dan humanitas, dengan pengarahan dan bimbingan Bruner.
( Salim Agus, 2007. 80-85 )
Ada tiga pendekatan
dalam perkembangan kurikulum subjek akademis :
1.
Melanjutkan
pendekatan struktur pengetahuan. Para murid belajar bagaimana
memperoleh dan menguji fakta-fakta dan bukan sekedar mengingat-ingatnya.
2.
Studi yang bersifat
integratif. pendekatan ini merupakan respons terhadap perkembangan masyarakat
yang menuntuk model-model pengetahuan yang lebih komprehensif-terpadu.
pelajaran disusun atas satuan-satuan pelajaran, dalam satuan-satuan pelajaran
tersebut batas-batas ilmu menjadi hilang. pengorganisasian tema-tema pengajaran
didasarkan pada fenomena-fenomena alam, proses kerja ilmiah dan
problema-problema yang ada. Mereka mengembangkan suatu model kurikulum yang
terintegrasi (Integrated Curriculum). Ada tiga ciri model kurikulum yang
dikembangkan.
a.
Menentukan tema-tema
yang membentuk satu kesatuan yang dapat terdiri atas ide atau konsep besar yang
bisa mencakup semua ilmu atau suatu proses kerja ilmu, fenomena alam, atau
masalah sosial yang membutuhkan pemecahan secara ilmiah.
b.
Menyatukan kegiatan
belajar dari beberapa disiplin ilmu. Kegiatan belajar melibatkan isi
dan proses dari satu atau beberapa ilmu sosial atau perilaku yang mempunyai
hubungan dengan tema yang dipilih atau dikerjakan.
c.
Menyatukan berbagai
metode atau cara balajar. kegiatan belajar ditekankan pada pengalaman konret
yang bertolak dari minat dan kebutuhan murid serta disesuaikan dengan keadaan
setempat.
3.
Pendekatan yang
diterapkan di sekolah-sekolah fundamintalis. Mereka tetap mengajar berdasarkan
mata pelajaran yang titik tekannya pada membaca, menulis, dan memecahkan
masalah-masalah matematis. Beberapa pelajaran yang lain seperti ilmu kealaman ,
ilmu sosial, dan lain-lain dipelajari tanpa dihubungkan dengan kebutuhan
praktis pemecahan masalah dalam kehidupan nyata.
B. Ciri-Ciri
Kurikulum Subjek Akademis
Kurikulum subjek
akademis ini memiliki beberapa ciri yang berkenaan dengan tujuan,
metode, organisasi isi, dan evaluasi. Tujuan dari kurikulum subjek
akademis adalah pemberian pengetahuan yang solid serta melatih para siswa
menggunakan ide-ide dan proses “penelitian”. Metode
yang paling banyak digunakan dalam kurikulm subjek akademis adalah metode
ekspositori dan inkuiri. Ide-ide diberikan guru kemudian dielaborasi
(dilaksanakan) siswa sampai mereka kuasai. Melalui proses tersebut para siswa
akan menemukan, bahwa kemampuan berfikir dan mengamatin digunakan dalam ilmuj
kealaman, logika digunakan dalam matematika, bentuk dan perasaan dalam seni dan
koherensi dalam sejarah. Setelah para siswa mempunyai pengetahuan dari berbagai
disiplin ilmu, diharapkan mereka dapat memiliki konsep-konsep dan cara-cara
yang bisa terus dikembangkan dalam masyarakat yang lebih luas.
Ahmad (1998, 39)
menyampaikan ciri-ciri kurikulum ini sebagai berikut:
1.
Unit haruslah merupakan satu kesatuan yang bulat dari seluruh
bahan pelajaran.
2.
Unit didasarkan pada kebutuhan anak, baik yang pribadi maupun
sosial serta yang bersifat jasmani maupun rohani.
3.
Unit memuat kegiatan yang berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari.
4.
Unit memberikan motivasi sehingga anak dapat berkreasi.
Pelaksanaan unit sering memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini disebabkan
percobaan atau perolehan pengalaman yang membutuhkan waktu lama.
5.
Pendekatan yang digunakan cenderung induktif, yaitu
disampaikan dari hal-hal yang bersifat umum menuju kepada bagian-bagian yang
lebih spesifik.
6.
Urutan penyajian bersifat kronologis. Penyampaian materi
selalu diawali dengan menggunakan materi-materi terdahulu. Hal ini dilakukan
agar sifat kronologis/ urutan materi tidak terputus.
a.
Maksud dan Fungsi
Maksud kurikulum adalah melatih siswa dalam menggunakan
gagasan yang paling bermanfaat dan proses menyelidiki masalah riset khusus.
Siswa diharapkan memperoleh konsep dan methode untuk melanjutkan pertumbuhan
dalam masyarakat lebih luas.
b.
Metode-Metode Kurikulum Subjek Akademik
Adalah dengan cara: Pameran
(eksposisi), penyelidikan merupakan dua titik teknik yang secara umum digunakan
dalam kurikulum akademik.
Masalah atau gagasan dirumuskan dan diupayakan sehingga
dapar dipahami mereka memeriksa pernyataan untuk menerangkan arti, landasan
logika, dan dukungan factual mereka. Buku yang telah sangat terpengaruh
kehidupan besar tidak diabaikan.
c.
Organisasi
Ada beberapa pola organisasi isi (materi pelajaran)
kurikulum subjek akademis. Ditinjau dari isinya, mengklasifikasikan kurikulum
model ini menjadi empat kelompok besar.
1)
Correlated curriculum.
Kurikulum
ini menekankan pentingnya hubungan antara organisasi materi atau konsep yang
dipelajari dari suatu pelajaran dengan pelajaran lain, tanpa menghilangkan
perbedaan esensial dari setiap mata pelajaran. Kurikulum ini didesain
berdasarkan pada konsep pedagogis dan psikologis yang dipelopori oleh Herbart
dengan teori asosiasi yang menekankan pada dua hal, yaitu konsentrasi dan
korelasi (Ahmad:1998,131).
2)
Unified atau concentrated curriculum
Kurikulum
jenis ini sangat kental dengan disiplin ilmu. Setiap disiplin ilmu dibangun
dari berbagai macam tema pelajaran. Pola organisasi bahan dalam suatu pelajaran
di susun dalam tema-tema pelajaran tertentu. Salah satu aplikasi kurikulum
jenis ini terdapat pada pembelajaran yang sifatnya tematik. Dari satu tema yang
diajukan, misalnya “lingkungan”, selanjutnya dikaji dari
berbagai disiplin ilmu misalnya, sain, matematika, sosial, dan bahasa.
3)
Integrated curriculum
Pola
organisasi kurikulum ini memperlihatkan warna disiplin ilmu. Bahan ajar
diintegrasikan menjadi satu keseluruhan yang disajikan dalam bentuk satuan
unit. Dalam satu unit terdapat hubungan antarpelajaran serta berbagai kegiatan
siswa.
Keterpaduan
bahan pelajaran tersebut diharapkan siswa mempunyai pemahaman suatu materi
secara utuh. Oleh karena itu, inti yang diajarkan kepada siswa harus memenuhi
kebutuhan hidup di lingkungan masyarakat.
4)
Problem solving curriculum
Kurikulum
ini berisi pemecahan masalah yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dengan
menggunakan pengetahuan serta keterampilan dari berbagai disiplin ilmu.Pada
kurikulum model ini, guru cenderung lebih banyak dimaknai sebagai
seseorang yang harus ”digugu” dan ”ditiru”. Menurut Idi (2007:126), ada
empat cara dalam menyajikan pelajaran dari kurikulum model subjek akademis.
Materi
disampaikan secara hierarkhi naik, yaitu materi disampaikan dari yang lebih
mudah hingga ke materi yang lebih sulit. Sebagai contoh, dalam pengajaran pada
jenjang kelas yang rendah diperlukan alat bantu mengajar yang masih kongkret.
Hal ini dilakukan guna membentuk konsep riil ke konsep yang lebih abstrak pada
jenjang berikutnya.
Selanjutnya mengenai kegiatan
evaluasi, kurikulum subjek akademis menggunakan bentuk yang bervariasi
disesuaiakan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran. Dalam bidang studi humaniora
lebih banyak menggunakan bentuk uraian (essay test) daripada tes objektif.
Bidang studi tersebut membutuhkan jawaban yang merefleksikan logika, koherensi,
dan integrasi secara menyeluruh. Bidang studi seni yang sifatnya ekspresi
membutuhkan penilaian subjektif yang jujur, disamping keindahan dan cita rasa.
beda halnya dengan bidang studi matematika, nilai tertinggi diberikan kepada
mengusai landasan aksioma serta cara penghitungannya benar. Bidang
studi ilmu kealaman penghargaan tertinggi tidak hanya diberikan kepada
jawaban yang benar tetapi juga pada proses berfikir yang digunakan siswa.
C. Pemilihan
Disiplin Ilmu
Dalam kurikulum
subjek akademis ini yang menjadi masalah besar bagi para pengembang kurikulum
ini adalah hal yang berkaitan dengan bagaimana memilih materi
pelajaran dari sekian banyak disiplin ilmu yang ada. Sebab jika inging memiliki
pengusaan materi yang cukup mendalam maka jumlah disiplin ilmu yang dipelajari
harus sedikit. Sedangkan, jika hanya mempelajari sedikit disiplin ilmu maka
penguasaan para siswa akan sangat terbatas, sehingga konskoensinya adalah sulit
untuk menerapkannya dalam kehidupan masyarakat secara luas. dan apabila
disiplin ilmu yang dipelajari siswa sangat banyak, maka penguasaannya pada
materi tersebut akan dangkal. mereka akan tahu banyak tetapi pengetahuannya
hanya sedikit-sedikit (tidak memdalam).
Untuk mengatasi
masalah tersebut,antara sebagai berikut :
1.
Mengusahakan adanya
penguasaan yang menyeluruh (comprehensiveness) dengan menekankan pada
bagaimana cara menguji kebenaran atau mendapatkan pengetahun.
2.
Mengutamakan
kebutuhan masyarakat (social utility), memilih dan menentukan
aspek-aspek dari disiplin ilmu yang sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat.
3.
Menekankan
pengetahuan dasar, yaitu pengetahuan-pengetahuan yang menjadi dasar bagi
penguasaan disiplin-disiplin ilmu yang lainnya.
Secara tradisional
isi telah diseleksi dalam bentuk MAPEL dan terdapat hal-hal yang kurang
menguntungkan, bahaya utamanya MAPEL yang bersifat tradisional mungkin memiliki
rahasia sendiri, yang memiliki disiplin mental yang tampaknya tidak
mengindahkan metode-metode yang digunakan karena lebih mementingkan isi. Materi
yang diajarkan bersifat universal yang mengabaikan karakteristik siswa dan
kebutuhan masyarakat setempat dan serta para pengembang kurikulum ini lebih
mengutamakan penyusunan bahan secara logis dan sistematis mengabaikan kemampuan
siswa.
Solusinya dalam
perkembangan selanjutnya beberapa penyempurnaan. Yaitu (a) mendorong penggunaan
intuisi dan tebak-tebakan, (b) adanya upaya-upaya menyesuaikan
pelajaran dengan perbedaan individu dan kebutuhan setempat, dan (c) pemanfaatan
fasilitas dan sumber yang ada pada masyarakat.
D. Penyesuaian
Dengan Perkembangan Anak
Para pengembang
kurikulum subjek akademis, cendrung lebih mengutamakan penyusunan materi secara
logis dan sistematis daripada menyelaraskan urutan materi dengan kemampuan
berfikir anak (siswa). Yakni, mayoritas mereka kurang memperhatikan bagaimana
siswa belajar dan yang diutamakan adalah susunan isi atau materi, yaitu apa
yang akan diajarkan. Juga mereka memandang materi yang akan diajarkan bersifat
universal, mereka mengabaikan karakteristik siswa dan apa yang menjadi
kebutuhan masyarakat setempat.
Dalam perkembangan
selanjutnya dilakukanlah beberapa penyempurnaan yang ditujukan untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan yang ada pada sebelumnya. pertama, untuk mengimbangi
penekannya pada proses berfikir, mereka mulai mendorong penggunaan intuisi dan
tebak-tebakan. kedua, adanya upaya-upaya untuk menyesuaikan pelajaran dengan
perbedaan individu dan kebutuhan setempat. ketiga, pemanfaatan fasilitas dan
sumber yang ada pada masyarakat.
E. Tuntutan Masyarakat Dalam Pengembangan
Kurikulum SMA-MA SMP-MTS SD-MI.
Keterlibatan
masyarakat dalam pengembangan SMA-MA SMP-MTS SD-MI
Pendidikan
adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat.
Tanpa dukungan masyarakat, pendidikan tidak akan berhasil dengan maksimal.
Sekarang hampir semua sekolah telah mempunyai komite sekolah yang merupakan
wakil masyarakat dalam membantu sekolah, sebab masyarakat dari berbagai lapisan
sosial ekonomi sudah sadar betapa pentingnya dukungan mereka untuk keberhasilan
pembelajaran di sekolah.
Sebetulnya
banyak sekali jenis-jenis dukungan masyarakat pada sekolah. Namun sampai
sekarang dukungan tersebut lebih banyak pada bidang fisik dan materi, seperti
membantu pembangunan gedung, merehab sekolah, memperbaiki genting, dan lain
sebagainya.
Masyarakat
juga dapat membantu dalam bidang teknis edukatif antara lain menjadi guru
bantu, sumber informasi lain, pendidik pengganti, mengajar kebudayaan setempat,
ketrampilan tertentu, atau sebagai pengajar tradisi tertentu. Namun demikian,
hal tersebut belumlah terwujud karena berbagai alasan.
Pada
dasarnya masyarakat baik yang mampu maupun yang tidak mampu, golongan atas,
menengah maupun yang bawah, memiliki potensi yang sama dalam membantu sekolah
yang memberikan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Akan tetapi hal ini
bergantung pada bagaimana cara sekolah mendekati masyarakat tersebut. Oleh
karena itu, sekolah harus memahami cara mendorong peran serta masyarakat agar
mereka mau membantu sekolah. Tulisan ini berikhtiar membicarakan tiga hal
antara lain, pentingnya peran serta masyarakat utamanya peran stakeholder bagi
pengembangan madrasah, jenis-jenis peran serta masyarakat, serta cara mendorong
peran serta masyarakat. Dari sini diharapkan muncul pokok-pokok gagasan setelah
melalui proses diskusi dan simulasi yang mencakup munculnya identifikasi
stakeholder (baca: kelompok masyarakat) dalam dalam membantu pendidikan, terinventarisasinya
jenis-jenis PSM, serta teridentifikasinya beberapa cara mendorong peran
serta
masyarakat (PSM).
Mengapa PSM itu perlu?
1.
Pendidikan adalah tanggungjawab bersama keluarga,
masyarakat, dan negara.
2.
Keluarga bertanggung jawab untuk mendidik
moralitas/agama, menyekolahkan anaknya, serta membiayai keperluan pendidikan
anaknya.
3.
Anak berada di sekolah antara 6-9 jam, selebihnya
berada di luar sekolah (rumah dan lingkungannya). Dengan demikian, tugas
keluarga amat penting untuk menjaga dan mendidik anaknya.
4.
Pendidikan adalah investasi masa depan anak. Oleh
karena itu, memerlukan biaya, tenaga dan perhatian. Keberatankah orang tua
membayar SPP yang sifatnya bulanan, sedang mereka saja tidak berat untuk
membeli rokok setiap hari? Mungkinkah anak menjadi pandai tanpa biaya? Harusnya
kita sadar, kita sedang memasuki era globalisasi, dan jika anak kita tidak
terdidik, kita akan kalah bersaing dengan bangsa lain.
5.
Anak perempuan
perlu mendapat pendidikan setinggi anak laki-laki mengingat mereka akan menjadi
ibu dari bayi-bayinya. Ibu lebih dekat kepada anak dan mendidik anak perlu
pengetahuan yang memadai agar anak tidak salah asuhan/didik.
6.
Masyarakat berhak dan berkewajiban untuk mendapatkan
dan mendukung pendidikan yang baik. Kewajiban mereka tidak sebatas pada bantuan
dana, lebih dari itu juga pemikiran dan gagasan.
7.
Pemerintah berkewajiban membuat gedung sekolah,
menyediakan tenaga/guru, melakukan standarisasi kurikulum, menjamin kualitas
buku paket, alat peraga, dan lain sebagainya. Karena kemampuan pemerintah
terbatas, maka peran serta masyarakat sanga diperlukan.
8.
Kemampuan pemerintah terbatas sehingga mungkin tidak
mampu untuk mengetahui secara rinci nuansa perbedaan di masyarakat yang
berpengaruh pada bidang pendidikan. Jadi masyarakat berkewajiban membantu
penyelenggaraan pendidikan.
9.
Masyarakat dapat terlibat dalam memberikan bantuan
dana, pembuatan gedung, lokal, pagar, dan lain sebagainya. Masyarakat juga
dapat terlibat dalam bidang teknis edukatif.
10. Idealnya
sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah dan juga kepada masyarakat
sekitarnya.
11. Bantuan
teknis edukatif juga sangat mungkin diberikan, seperti: menyediakan diri
menjadi tenaga pengajar, membantu anak berkesulitan membaca, menentukan dan
memelihara guru baru yang mempunyai kualifikasi, serta membicarakan pelaksanaan
kurikulum dan kemajuan belajar. (Gunawan Heri, 2011. 42-45
)
Jenis-jenis
PSM (Peran Serta Masyarakat)
Ada bermacam-macam tingkatan peran serta masyarakat
dalam pembangunan pendidikan. Peran serta tersebut dapat diklasifikasikan dalam
7 tingkatan, yang dimulai dari tingkat terendah ke tingkat tertinggi. Tingkatan
tersebut terinci sebagai berikut:
1.
Peran serta dengan menggunakan jasa yang tersedia.
Jenis PSM ini merupakan jenis paling umum. Masyarakat hanya memanfaatkan jasa
sekolah dengan memasukkan anak ke sekolah.
2.
Peran serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan,
dan tenaga. Masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan pembangunan fisik
sekolah dengan menyumbangkan dana, barang dan atau tenaga.
3.
Peran serta secara pasif. Artinya menyetujui dan
menerima apa yang diputuskan oleh sekolah (komite sekolah), misalnya komite
sekolah memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi anaknya yang bersekolah
dan orangtua menerima keputusan tersebut dengan mematuhinya.
4.
Peran serta melalui adanya konsultasi. Orangtua datang
ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang dialami
anaknya.
5.
Peran serta dalam pelayanan. Orantua/masyarakat
terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya orangtua ikut membantu sekolah ketika
ada studi banding, kegiatan pramuka, kegiatan keagamaan, dan lain sebagainya.
6.
Peran serta sebagai pelaksana kegiatan yang
didelegasikan/dilimpahkan.
Misalnya, sekolah meminta orang tua/masyarakat untuk memberikan penyuluhan
tentang pentingnya pendidikan , masalah gender, gizi dan lain sebagainya.
7.
Peran serta dalam pengambilan keputusan.
orangtua/masyarakat terlibat dalam pembahasan masalah pendidikan (baik akademis
maupun non akademis) dan ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam rencana
pengembangan sekolah.Menuju Otonomi pada Tingkat Sekolah; Ikhtiar Memberdayakan
Komite Sekolah sebagi Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan.
“Komite Sekolah/Madrasah sebagai lembaga mandiri
dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan”.
(Pasal 56,
ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003)
Paradigma
MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju
peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan
akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah
pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga
segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro
harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah
stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan berhasilan pendidikan di
sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah
maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggungjawab terhadap
masyarakat.
Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” itu
sangat kompleks dan tak berbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi
sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai stakeholder pendidikan.
Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat itu perlu
disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah bagi sekolah melakukan hubungan
dengan masyarakat itu.
Penyederhanaan konsep masyarakat itu dilakukan melalui
“perwakilan” fungsi stakeholder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah (KS)
pada setiap sekolah dan Dewan Pendidikan (DP) di setiap kabupaten/kota. DP-KS
sedapat mungkin bisa merepresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar
dapat mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan
masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara
sekolah-sekolah dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat
pendidikan di pemerintah kabupaten/kota dengan Dewan Pendidikan. Bukti
tanggungjawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam fungsi yang
melekat pada DP dan KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam pengambilan
keputusan, fungsi kontrol dan akuntabilitas publik, fungsi pendukungan
(supports), serta fungsi mediator antara sekolah dengan masyarakat yang
diwakilinya.
Kemandirian setiap satuan pendidikan adalah salah satu
sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan sehingga sekolah-sekolah
menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya. Namun tentu saja, pergeseran
menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan
berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang
ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan
onak dan duri.
Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk
mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat
dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun,
pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi
demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep
Yang jelas
dan transparans.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak
dilakukan melalui suatu mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat
ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan
yang bermutu. Melalui strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang
pendidikan”.
Depdiknas tidak hanya berkepentingan dalam
mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga
berkepentingan dsalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan, Depdiknas memiliki
keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan, yaitu
sekolah-sekolah. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom
karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operasional pendidikan.
Sesuai dengan strategi ini sekolah bukan bawahan dari birokrasi pemerintah
daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang bertanggung jawab terhadap
klien atau stakeholder yang diwakili oleh Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan.
Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur dari pendapat para birokrat,
tetapi dari kepuasan masyarakat atau stakeholder. Fungsi pemerintah adalah
fasilitator untuk mendorong sekolah-sekolah agar berkembang menjadi lembaga
profesional dan otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap
komunitas basisnya, yaitu masyarakat.
( Yoyon
Bahtiar Irianto, 2012.55-59)
Perlu juga
difahami bahwa pengembangan paradigma MBS, bukanlah kelanjutan apalagi “kemasan
baru” dari Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP3). Adalah keliru jika DP
dan KS adalah alat untuk “penarikan iuran”, karena “penarikan iuran” yang
dilakukan oleh BP3 terbukti tidak berhasil memobilisasi partisipasi dan
tanggungjawab masyarakat. Tetapi yang harus lebih difahami adalah fungsi Dewan
dan Komite sebagai jembatan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah yang hanya
terbatas personalianya, akan sangat dibantu jika dibuka kesempatan bagi
masyarakat luas untuk ikut memikirkan pendidikan di sekolah-sekolah. Sekolah
yang sangat tertutup bagi kontribusi pemikiran dari masyarakat harus kita
akhiri, dan dengan MBS, dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk
ikut serta memikirkan pendidikan di sekolah. Dengan konsep MBS, masyarakat akan
merasa memiliki dan mereka akan merasa tanggungjawab untuk keberhasilan
pendidikan di dalamnya. Jika ini dapat diwujudkan, jangankan “iuran” bahkan
apapun yang mereka miliki (uang, barang, tenaga, fikiran bahkan kesempatan)
akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan. Anak-anak bangsa yang
berlangsung disekolah-sekolah.Pengolaan Pendidikan pada tingkat Sekolah.( Aziz Abdul Hamka, 2011. 35- 40 )
Peran dan fungsi Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan manajemen pendidikan
di tingkat sekolah.
Beberapa aspek manajemen yang secara langsung dapat
diserahkan sebagai urusan yangmenjadi kewenangan tingkat sekolah adalah sebagai
berikut.
Pertama, menetapkan visi, misi, strategi,
tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Urusan ini amat penting sebagai
modal dasar yang harus dimiliki sekolah. Setiap sekolah selogonya telah dapat menyusun
dan menetapkan sendiri visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata
tertib sekolah. Ini merupakan bukti kemandirian awal yang harus ditunjukkan
oleh sekolah. Jika masa lalu sekolah lebih dipandang sebagai lembaga birokrasi
yang selalu menunggu perintah dan petunjuk dari atas, dalam era otonomi daerah
ini sekolah harus telah memiliki kesadaran untuk menentukan jalan hidupnya
sendiri. Sudah barang tentu, sekolah harus menjalin kerjasama sebaik mungkin
dengan orangtua dan masyarakat sebagai mitra kerjanya. Bahkan dalam menyusun
program kerjanya, sebagai penjabaran lebih lanjut dari visi, misi, strategi,
dan tujuan sekolah tersebut, orangtua dan masyarakat yang tergabung dalam
Komite Sekolah, serta seluruh warga sekolah harus dilibatkan secara aktif dalam
menyusun program kerja sekolah, dan sekaligus lengkap dengan Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
Kedua, memiliki kewenangan dalam
penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tesedia, fasilitas yang
ada, jumlah pendidik, dan tenaga administratif yang dimiliki. Berdasarkan
sumber daya pendukung yang dimilikinya, sekolah secara bertanggung jawab harus
dapat menentukan sendiri jumlah peserta didik yang akan diterima, syarat
peserta didik yang akan diterima, dan persyaratan lain yang terkait. Sudah
barang tentu, beberapa ketentuan yang ditetapkan oleh dinas pendidikan
kabupaten/kota perlu mendapatkan pertimbangan secara bijak.
Ketiga, menetapkan kegiatan intrakurikuler
dan ekstrakurikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan oleh sekolah. Dalam hal
ini, dengan mempertimbangkan kepentingan daerah dan masa depan lulusannya,
sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan kurikulum nasional dengan
kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum dengan meminta pertimbangan
kepada Komite Sekolah. Kurikulum muatan lokal, misalnya dalam mengambil
kebijakan untuk menambah mata pelajaran seperti Bahasa Inggris dan bahasa asing
lainnya, komputer, dsb. Sudah barang tentu, kebijakan itu diambil setelah
meminta pertimbangan dari Komite Sekolah, termasuk resiko anggaran yang
diperlukkan untuk itu. Dalam kaitannya dengan penetapan kegiatan
ekstrakurikuler, sekolah juga harus meminta pendapat siswa dalam menentukan
kegiatan ekstrakurikuler yang akan diadakan oleh sekolah.
Oleh karena itu sekolah dapat melakukan pengelolaan
biaya operasio-nal sekolah, baik yang bersumber dari pemerintah Kabupaten/Kota
maupun dari masyarakat secara mandiri. Untuk mendukung program sekolah yang
telah disepakati oleh Komite Sekolah diperlukan ketepatan waktu dalam pencairan
dana dari pemerintah kabupaten/kota. Oleh kaarena itu praktik birokrasi yang
menghambat kegiatan sekolah harus dikurangi.
Keempat, pengadaan
sarana dan prasana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada
sekolah, dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada. Misalnya, buku
murid tidak seenaknya diganti setiap tahun oleh sekolah, atau buku murid yang
akan dibeli oleh sekolah adalah yang telah lulus penilaian, dsb. Pemilihan dan
pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan oleh
sekolah, dengan tetap mengacu kepada standar dan pedoman yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat atau provinsi dan kabupaten/kota.
Kelima, penghapusan barang dan jasa dapat
dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan
oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten. Yang biasa terjadi justru, karena
kewenangan penghapusan itu tidak jelas, barang dan jasa yang ada di sekolah
justru tidak pernah dihapuskan, meskipun ternyata barang dan jasa itu sama
sekali telah tidak berfungsi atau malah telah tidak ada barangnya.
Keenam, proses pengajaran dan
pembelajaran. Ini merupakan kewenangan profesional sejati yang dimiliki oleh
lembaga pendidikan sekolah. Kepala sekolah dan guru secara bersama-sama
merancang proses pengajaran dan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik
dapat belajar dengan lancar dan berhasil. Proses pembelajaran yang aktif,
kreatif, efektif dan menyenangkan direkomendasikan sebagai model pembelajaran
yang akan dilaksanakan oleh sekolah. Pada masa sentralisasi pendidikan, proses
pembelajaran pun diatur secara rinci dalam kurikulum nasional. Dalam era
otonomi daerah, kurikulum nasional sedang dalam proses penyempurnaan menjadi
kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dengan KBK ini, diharapkan para guru
tidak akan terpasung lagi kreativitasnya dalam melaksanakan dan mengembangkan
kurikulum.
Ketujuh, urusan
teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi
tanggung jawab dan kewenagan setiap satuan pendidikan.
(Nurcahya Denny , dkk. 2011. 50-56 )
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Kurikulum subjek akademis ini bersumber dari pendidikan
klasik, yaitu: perenialisme dan esensialisme.
2. Pendidikan adalah tanggung jawab
bersama antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat.
3. Kurikulum ini
menekankan pentingnya hubungan antara organisasi materi atau konsep yang
dipelajari dari suatu pelajaran dengan pelajaran lain, tanpa menghilangkan
perbedaan esensial dari setiap mata pelajaran.
4. Penyesuaian Dengan Perkembangan Anak : susunan
isi atau materi, yaitu apa yang akan diajarkan. Juga mereka memandang materi
yang akan diajarkan bersifat universal, mereka mengabaikan karakteristik siswa
dan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat setempat.
5. Keterlibatan masyarakat dalam
pengembangan SMA-MA SMP-MTS SD-MI Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara
pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat, pendidikan
tidak akan berhasil dengan maksimal.
\
DAFTAR PUSTAKA
Aziz Abdul
Hamka, 2011”Membangun Karakter Bangsa”Pustaka Al
Mawardi.Surakarta :LFABETA
Gunawan Heri, 2011” Pendidikan Karakter Konsep dan
Implementasi” Bandung, : Alfabeta,
Nurcahya Denny , dkk. 2011 PERAN MASYARAKAT DALAM
KURIKULUM.Jakarta : Universitas Terbuka.
Salim Agus, 2007.Pengembangan
Kurikulum (Teori Dan Aplikasi)
Setiawan Denny, dkk. 2011 KOMPUTER DAN MEDIA PEMBELAJARAN. Jakarta : Balai Pustaka,
Yoyon Bahtiar Irianto, 2012 Kebijakan
Pembaharuan Pendidikan, Jakarta, :Rajawali Press,
http://www.pustakasekolah.com/pengertian-sosial-budaya.html20014/03/11/ Diakses 11:12
http://akhmadsudrajat.wordpress.comlandasan-kurikulum/20014/03/11/ Diakses 11:29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar