MAKALAH
Objek Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an
Yang Terkandung Dalam QS. At-Tahrim Ayat 6, QS. Asy Syu’ara Ayat 214, QS. At-Taubat
Ayat 122 Dan QS. An-Nisa’ Ayat 170.
Disusun
oleh :
Aisyah Nurlaela
(14121610658)
TARBIYAH/IPA-BIOLOGI-A / VI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2015
BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Al-Qur’an diyakini oleh umat Islam sebagai kalamullah
(firman Allah) yang mutlak benar, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran
serta petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di
dunia ini dan di akhirat nanti. Ajaran dan petunjuk al-Qur’an tersebut
berkaitan dengan berbagai konsep yang amat dibutuhkan oleh umat manusia dalam
mengarungi kehidupannya di dunia ini dan di akhirat kelak.
Al-Qur’an berbicara tentang berbagai hal, seperti aqidah, ibadah, mu’amalah
berbicara pula tentang pendidikan. Namun demikian, al-Qur’an bukanlah kitab
suci yang siap pakai, dalam arti berbagai konsep yang dikemukakan al-Qur’an
tersebut tidak langsung dapat dihubungkan dengan berbagai masalah tersebut.
Ajaran al-Qur’an tampil dalam sifatnya yang global, ringkas dan general. Untuk
dapat memahami ajaran al-Qur’an tentang berbagai masalah tersebut mau tidak mau
seseorang harus melewati jalur tafsir sebagaimana telah dilakukan para ulama’.
Berbicara masalah pendidikan, tentunya tidak lepas dari ilmu pengetahuan,
adanya tujuan pendidikan, subjek pendidikan, metode pengajaran, dan tentunya
terdapat objek pendidikan pula. Di dalm al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
menjelaskan masalah-masalah pendidikan tersebut.
Makalah
ini membahas objek pendidikan berdasarkan al-Qur’an yang terkandung dalam QS.
At-Tahrim ayat 6, QS. Asy Syu’ara ayat 214, QS. At-Taubat ayat 122 dan QS.
An-Nisa’ ayat 170.
II.
Rumusan
Masalah
- Siapakah
objek pendidikan berdasarkan QS. At Tahrim ayat 6?
- Siapakah
objek pendidikan berdasarkan QS. Asy Syu’ara ayat 214?
- Siapakah
objek pendidikan berdasarkan QS. At Taubat ayat 122?
- Siapakah
objek pendidikan berdasarkan QS. An Nisa’ ayat 170?
BAB II
PEMBAHASAN
A. QS. AT
TAHRIM AYAT 6
يَأَيُهَا
الَذِيْنَ أَمَنُوْا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا
النَاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهاََ مَلَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَيَعْصُوْنَ
اللهَ مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَايُؤْمَرُوْنَ
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu ; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim Ayat 6)
Dalam ayat ini terdapat lafadz
perintah berupa fi’il amr yang secara langsung dan tegas, yakni lafadz
(peliharalah atau jagalah), hal ini dimaksudkan bahwa kewajiban setiap mukmin
salah satunya adalah menjaga dirinya sendiri dan keluarganya dari siksa neraka.
Dalam tafsir jalalain penjagaan tersebut adalah dengan pelaksanaan perintah
taat kepada Allah SWT.
Merupakan tanggung jawab setiap
manusia untuk menjaga dirinya sendiri serta keluarganya, sebab manusia merupakan
pemimpin bagi dirinya sendiri dan keluarganya yang nanti akan dimintai
pertanggungjawabannya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, (artinya) : ”Dari
Ibnu Umar ra. Berkata : saya mendengar Rasulullah SAW, bersabda : setiap hari
dari kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai
pertanggaungjawaban atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan
ditanyai atas kepemimpinannya, orang laki-laki adalah pemimpin dalam
keluarganya dan akan ditanyai atas kepemimpinannya…”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke-6
ini turun, Umar berkata : ”Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami
dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rasulullah SAW, menjawab : ”Larang
mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah
mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah
cara meluputkan mereka dari api neraka. Neraka itu di jaga oleh malaikat yang
kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat, mereka
dikuasakan mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepadanya”. Maka jelas bahwa tugas
manusia tidak hanya menjaga dirinya sendiri, namun juga keluarganya dari siksa
neraka. Untuk dapat melaksanakan taat kepada Allah SWT, tentunya harus dengan
menjalankan segala perintah-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya. Dan semua
itu tak akan bisa terjadi tanpa adanya pendidikan syari’at. Maka disimpulkan
bahwa keluarga juga merupakan objek pendidikan.
Di lihat dari ayat itu sendiri
terdapat :
a.
Hubungan antar kalimat (munasabah), bahwa manusia
diharapkan seperti perilaku malaikat, yakni mengerjakan apa yang di perintah
Allah SWT.
b.
Tafsiran : ayat ini menerangkan tentang ultimatum
kepada kaum mukminin (diri dan keluarganya) untuk tidak melakukan kemurtadan
dengan lidahnya, meskipun hatinya tidak.
Sebab Turunnya surat Attahrim (Asbabun Nuzul) :
Ibnu katsir setelah menulis ayat
At-Tahrim beliau juga menukil pendapat yang mengatakan bahwa sebab turunnya
ayat tersebut adalah Nabi mengharamkan atas dirinya Maria Al-Qibtiah (lih.
Tafsir Ibnu Katsir juz.8 hal.158) tapi kemudian beliau menguatkan pendapat yang
mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah Nabi mengharamkan atas
dirinya madu.
Kemudian Syaikh Utsaimin menguatkan pendapat yang mengatakan sebab turunnya ayat ini adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan atas dirinya madu. (Lih. Asy-Syarh Al-Mumti’ ala Zad Al Mustaqni’ oleh syaikh Utsaimin juz.13 hal.217).
Kemudian Syaikh Utsaimin menguatkan pendapat yang mengatakan sebab turunnya ayat ini adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan atas dirinya madu. (Lih. Asy-Syarh Al-Mumti’ ala Zad Al Mustaqni’ oleh syaikh Utsaimin juz.13 hal.217).
B. QS. AT
TAHRIM AYAT 6
وَأَنْذِرْعَشِيْرَتَكَ اْلأَقْرَبِيْنَ
Artinya : ”Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat”. (QS. Asy Syu’araa’ ayat 214)
Sesuai dengan ayat sebelumnya (QS.
At Tahrim ayat 6) bahwa terdapat perintah langsung dengan fi’il amr
(berilah peringatan). Namun perbedaannya adalah tentang objeknya, dimana dalam
ayat ini adalah kerabat-kerabat. ”Al Aqrobyn” mereka adalah Bani Hasyim dan
Bani Abdul Muthollib, lalu nabi Muhammad SAW, memberikan peringatan kepada
mereka secara terang-terangan ; demikianlah menurut keterangan hadist yang
telah dikemukakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Namun hal ini bukan
berarti khusus untuk nabi Muhammad SAW, saja kepada Bani Hasyim dan Bani
Muthollib, tetapi juga untuk seluruh umat Islam. Selaras dengan kaidah ushul
fiqh :
إِذَا وَرَدَ
اَلْعَامُ عَلَى سَبَبِ الْخَاصِ فَالْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَفْظِ لاَبِخُصُوْصِ
السَبَبِ
Artinya : ”Apabila datang dalil ‘am karena sebab
yang khos maka yang dianggap adalah umumnya lafadz, bukan dengan kekhusususan sebab”.
Di lihat dari munasabah ayat,
selanjutnya terdapat ayat ke-215 :
وَاخْفِضْ
جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya : ”Dan rendahkan dirimu terhadap
orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”. (QS. Asy
Syu’araa ayat 215)
Asbab nuzul ayat ini, ketika ayat
ini turun Rasulullah SAW, bersabda : ”Wahai Bani Abdul Muthollib, demi Allah
aku tidak pernah menemukan sesuatu yang lebih baik di seluruh bangsa Arab dari
apa yang aku bawa untukmu. Aku datang kepadamu untuk kebaikan di dunia dan
akhirat. Allah telah menyuruhku mengajakmu kepada-Nya. Maka siapakah diantara
kamu yang bersedia membantuku dalam urusan ini untuk menjadi saudaraku dan
washiku serta khalifahku?”. Mereka semua tidak bersedia kecuali Ali bin Abi
Tholib. Diantara hadirin beliaulah yang paling muda. Ali berdiri seraya berkata
: ”Aku ya Rasulullah. Aku (bersedia menjadi) wazirmu dalam urusan ini”.
Lalu Rasulullah SAW, memegang bahu Ali seraya bersabda : ”Sesungguhnya Ali
ini adalah saudaraku dan washiku serta khalifahku terhadap kalian. Oleh karena
itu, dengarkanlah dan taatilah ia”. Mereka tertawa terbahak-bahak sambil
berkata kepada Abi Tholib : ”Kamu di suruh mendengar dan mentaati anakmu”.
Umat Islam adalah saudara bagi yang
lain, maka harus saling mendidik dan menasehati. Sebagimana sabda nabi Muhammad
SAW, (artinya) : ”Dari Jabir ibn Abdillah ra. berkata : saya bersumpah setia
kepada Rasulullah SAW, untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat dan menasehati
kepada setiap muslim”. (HR. Bukhari dan Muslim)
عن جا بربن سمرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لأن يؤدب الرجل
ولده خير له من ان ينصدق بصاع (رواه الترمذ)
Artinya:“Dari Jubair bin Samurah
RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: sungguh bahwa seseorang mendidik
anaknya adalah lebih baik daripada ia bersedekah satu sha”. (H.R. Tirmidzi)
C.
QS. AT TAUBAH AYAT 122
وَمَاكَانَ
الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً ۚ فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَهُوْا فِى الدِيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ
إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Artinya : ”Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin
itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya”. (QS. At Taubah
ayat 122)
Dalam ayat ini juga terdapat dua
lafadz fi’il amr yang disertai lam amr, yakni (supaya mereka
memperdalam ilmu agama) dan lafadz (supaya mereka memberi peringatan), yang
berarti kewajiban untuk belajar dan mengajar.
وعن عمروبن
شعيب عن ابيه عن جدهرضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
مروااولادكم با الصلاة وهم ابناء سنين واضربوهم عليها وهم ابناء عشر، وفرقوا بينهم
فى المضاجع (حديث رواه ابودود با سناد حسن)
Artinya: “Dari Amru bin
Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya RA berkata: Rasulullah SAW bersabda:
perintahkan anak-anakmu untuk melaksanakan shalat, ketika mereka sampai di usia
7 tahun, kemudian pukul mereka karena meninggalkan shalat jika telah sampai
usia 10 tahun dan pisahkan diantara mereka di tempat tidurnya”. (H.R. Abu Daud)
Adapun proses belajar dan mengajar
sangat dianjurkan oleh nabi Muhammad SAW, sabda beliau : ”Dan darinya (Abu
Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : barang siapa yang mengajak
kepada petunjuk, maka baginya pahala orang yang mengikutinya tidak dikurangi
sedikitpun dari padanya)”. (HR. Muslim)
Asbab nuzulnya adalah tatkala kaum
mukminin di cela oleh Allah bila tidak ikut ke medan perang kemudian nabi
Muhammad SAW, mengirimkan syariahnya, akhirnya mereka berangkat ke medan perang
semua tanpa ada seorangpun yang tinggal, maka turunlah firman-Nya berikut ini :
(tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi) ke medan perang (semuanya.
Mengapa tidak) (pergi dari tiap-tiap golongan) suatu kabilah (diantara mereka
beberapa orang) beberapa golongan saja kemudian sisanya tetap tinggal di tempat
(untuk memperdalam pengetahuan mereka).
Yakni tetap tinggal di tempat
(mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya) dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada
mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya (supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya) dari siksaan Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.
Sehubungan dengan ayat ini Ibnu
Abbas ra. memberikan penakwilannya bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus
untuk syari’ah-syari’ah, yakni bilamana pasukan itu dalam bentuk syari’ah
lantaran nabi Muhammad SAW, tidak ikut. Sedangkan ayat sebelumnya yang juga
melarang seseorang tetap tinggal ditempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan
perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada nabi Muhammad SAW, berangkat
ke suatu ghazwah.
D. QS. AN
NISAA’ AYAT 170.
يَأَيُهَا النَاسُ
قَدْجَآءَكُمُ الرَسُوْلُ بِالْحَقِ مِنْ رَبِكُمْ فَأَمِنُوْا خَيْرًا لَكُمْ ۚ
وَإِنْ تَكْفُرُوْا فَإِنَ ِللهِ مَا فِى السَمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ ۚ وَكَانَ
اللهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
Artinya : ”Wahai manusia, sesungguhnya telah datang
Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhan-Mu, maka
berimanlah kamu, itu yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka
kekafiran itu tidak merugikan sedikitpun kepada Allah SWT) karena sesungguhnya
apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah SWT. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An Nisaa’ ayat 170)
Dalam ayat ini Allah SWT, menyeru
kepada umat manusia untuk beriman, sebab sudah ada Rasul (nabi Muhammad SAW,)
yang di utus membawa syari’at yang benar.
Dalam tafsir disebutkan bahwa lafadz
An Naas pada saat turunnya ayat adalah kepada ahli kafir Mekkah.
حدثنا سعيد بن عفير قال:
حدثنا ابن وهب، عن يونس، عن ابن شهاب قال: قال حميد بن عبد الرحمن: سمعت معاوية
خطيبا يقول:
سمعت النبي صلى الله
عليه وسلم يقول: (من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين، وإنما أنا قاسم والله يعطي،
ولن تزال هذه الأمة قائمة على أمر الله، لا يضرهم من خالفهم، حتى يأتي أمر الله).
Hamid bin Abdirrahman
berkata, aku mendengar Muawwiyah berkata, aku mendengar Rasulullah saw
Bersabda:” Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang yang baik,
maka Allah akan memberikan kepadanya pengetahuan dalam Agama, sesungguhnya aku
adalah orang yang membagi sementara Allah adalah sang pemberi, umat ini tidak
akan pernah berhenti menegakkan perintah Allah, dan tidak akan medhoroti
mereka, orang-orang yang menentangnya sampai datang hari kiamat.
(HR. Bukhori, Bab Siapapun yang
dikehendaki Allah menjadi baik, maka Allah pahamkan ia dalam masalah agama).
Hadis di atas
menerangkan kepada kita bahwa kehendak Allah untuk menjadikan kita baik,itu
digantungkan dengan kepahaman kita menyangkut agama. Ilmu agama adalah ilmu
yang berkaitan dengan akhlak, maka dengan semakin tinggi pemahaman seseorang
terhadap masalah agama maka akan semakin baik pula akhlak dan perilakunya yang
puncaknya bisa mengantarkannya menjadi orang yang takut kepada Allah semata.
Kalau dewasa ini kita sering melihat seseorang yang dalam pengetahuan agamanya
namun dia justeru makin tenggelam dalam kesesatan, itu dikarenakan ia salah
dalam mengaplikasikan ilmunya. Dia hanya pandai beretorika namun hampa dari
pengamalan. Imam Ali Karramallahu Wajhah pernah berkata,” Bahwa yang dikatakan
orang Alim bukanlah orang yang banyak ilmunya, namun yang dinamakan orang alim
adalah orang yang bias mengamalkan ilmunya.” Rasulullah memberikan peringatan
kepada kita dengan sabdanya “ barangsiapa makin tambah ilmunya namun tidak
bertambah hidayahnya, maka ia semakin bertambah jauh dari Allah swt.” Bahkan
Allah dengan tegas mengatakan bahwa yang disebut ulama hanyalah orang yang
takut kepadaNya semata.” Innama Yakhsyallaha min ibaadihil ulamaa’.”
Jadi hadis di
atas harus dipahami bahwa orang yang dapat mengamalkan ilmu agamanya itulah
orang yang dikehendaki Allah menjadi baik.
Adapun manusia, karena adanya
kesamaan jenis, ukhuwah basyariyyah, maka dakwah dan tarbiyah kepada non muslim
pun harus tetap dilakukan, tentunya dengan jalan yang baik. Nabi Muhammad SAW,
bersabda (artinya) : ”Demi Abdullah Ibn Amr Ibn Al Ashra. Berkata :
sesungguhnya nabi Muhammad SAW, bersabda : sampaikanlah dariku walaupun satu
ayat……” (HR. Bukhari)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Ayat QS. At
Tahrim ayat 6, menunjukkan perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari api
neraka, yang bisa disimpulkan juga merupakan untuk tarbiyah diri dan keluarga.
2. Ayat QS. Asy
Syu’araa ayat 214, kerabat-kerabat kita terdekat merupakan juga objek dakwah
dan tarbiyah.
3. Ayat QS. At
taubah ayat 122, maka tidak sepatutnya seluruh kaum muslimin pergi berperang
(jihad), namun harus ada juga yang harus belajar dan mengajar. Sebab proses
tarbiyah sangat penting bagi kukuhnya Islam. Rasulullah SAW, bersabda : ”Di
hari kiamat kelak tinta yang digunakan untuk menulis oleh para ulama akan di
timbang dengan darah para syuhada (yang gugur di medan perang). (HR.
Syaikhani)
4. Ayat QS. An
Nisaa’ ayat 120, manusia baik yang muslim atau non muslim merupakan objek
dakwah dan tarbiyah. Namun disini perlu diluruskan, bahwa proses dakwah dan
tarbiyah tidak harus dengan kekerasan dan perang, tetapi dengan jalan yang
hikmah, mauidzoh hasanah dan argumen yang bertanggung jawab.
5. Pendidikan
atau tarbiyah merupakan proses penting untuk melaksanakan taat kepada Allah
SWT, dan menggapai ridho-Nya, sebab belajar dan mengajar diwajibkan dalam
Islam.
6. Manusia
seluruhnya merupakan objek pendidikan (tarbiyah dan dakwah), namun perlu adanya
prioritas untuk kedua hal tersebut, yaitu dimulai dari diri sendiri, kemudian
keluarga, kerabat, orang Islam dan akhirnya kepada sesama manusia (non muslim).
DAFTAR PUSTAKA
Anshory, Al Allamah Abu Zakariya Al,. Tanpa Tahun. Riyadhus Sholihin.
Haromain. Surabaya.
Hasyimi, Sayyid Ahmad,. 1971. Mukhtarul Ahaditsun Nabawiyah.
Haromain. Surabaya.
Latif, Abd, Ahmad Ibnu,. Tanpa Tahun. An Nufahat ‘Ala Syarhil Waroqot.
Haromain. Indonesia
Musyhadi, K. Ahmad Subhi,. 1981. Misbahul Anam Syarh Bulughul Marom.
Maktabah Raja Murah. Pekalongan.
Suyuthi Al Allamah Jalalludin As dan Al Allamah Jalalludin Al Mahally,.
Tanpa Tahun. Tafsir Jalalain. Darul Kutub Islamiyah. Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar